Kembali sedikit ke pengusaha sawit tadi. Ga apa ga meninggalkan
perbankan. Ga apa ga meninggalkan
pengusahanya.
Libatkan saja semuanya. Pengusahanya menjadi pengelolanya. Masyarakat
pemilik lahan sawit, menjadi mitranya, sekaligus pekerjanya, sekaligus sebagai
investornya.
Perbankan, dan bupati, memediasi semua ini supaya kemudian
berjalan. Keren dah. Ntar pemerintah dapat pajaknya, dan orang-orang seperti
Yusuf Mansur, he he he, Baznas, dan lembaga-lembaga amil zakat infak dan
sedekah, gerakan-gerakan sedekah, dapat zakat dan sedekahnya, untuk kemudian
menggerakkan lagi ekonomi masyarakat yang lebih besar, dan luas.
Kita coba lihat sejenak ke bisnis properti.
Pernah baca ya, berita bahwa 1 bank memberi kredit 600 milyar
pengusaha properti/perusahaan properti? Atau berita 1 properti besar dikucurkan
dana di atas 1T. Itu dana tetap aja ya dari masyarakat.
Apa yang terbaca?
Banyak positifnya. Di antaranya, adanya tenaga kerja baru. Adanya
roda ekonomi yang lebih berputar. Dan masih banyak lagi. Termasuk, kocek
pengusahanya, pundi perusahaannya, juga bertambah. Bertambah pula nanti pajak
daerah dan negara. Bila dia muslim yang taat, akan bertambah zakat dan
sedekahnya. Belum lagi pajak dari karyawan, supplier, dan lain-lain.
Tapi ada yang “bolong” sedikit. Apa tuh? Entahlah. Dari sisi saya,
sebagai orang Betawi yang lahannya hilang banyak, ada 1-2 “kesalahan” sistem.
Yakni, tidak memberikan ruang, porsi, kesempatan, lebih, kepada justru ke
pemilik dana, yakni penabung, dan pemilik lahan, yang kelak akan
dibayar-bayarin oleh pengusaha/perusahaan properti tersebut. Pemilik dana, dan
pemilik lahan, ga punya akses lebih besar lagi ke, di, dan dari peluang yang
ada. Pemilik dana, “hanya” diberi 2% saja oleh banknya.
Pemilik lahan apalagi,
sebab ketidakberdayaan ilmu, keahlian, pengalaman, di bidang properti, maka
mereka ga menikmati apa-apa dari penjualan lahannya. Dibelikan lahan yang lebih
gede, sudah ga mungkin.
Habis dibagi ahli waris, dengan aneka tingkah,
perbuatan, dan tabiatnya. Menjadikan duit hasil jual beli lahannya, ga jadi
apa-apa.
Banyak pemilik lahan, akhirnya jadi pekerja kasar, budak, di lahannya
sendiri. Rumahnya kian sempit, sesak, dan akhirnya secara ekonomi, kehidupan
sosial, bahkan agama, akhirnya hancur tatanannya.
Bisa kah kemudian bersatu? Bisa. Asal semua punya kemauan.
Termasuk kemauan belajar dari para pemilik lahan, kemauan mengajari juga, dan
lain-lain, yang akan menjadi diskusi kita.
Di Industri perbankan, sama saja. Cari modalnya jangan ke asing.
Jangan keluar dari banknya, maka akan selamat. Tawarin dong penabungnya.
Untuk
meningkat menjadi investor, menjadi pemilik. Jangan malah opportuniti itu malah
dikuasakan ke orang asing. Di industri dirgantara, pesawat terbang, begitu
juga. Penumpang dinaikkan kedudukannya dari target market menjadi pelaku
market. Naik menjadi investor. Diajak untuk memberdayakan duitnya sendiri untuk
membangun industri pesawat terbang dengan industri yang mengikutinya.
Di industri transportasi darat, laut, juga demikian. Keren dah
kalo begini.
Ketika membangun pasar, masyarakat diajak sebagai pemilik. Selain
diajak sebagai tenan, pengelola, pemilik kios, ajak mereka sebagai investor.
Sesungguhnya investor punya tempat dan martabat yang tinggi
sekali. Ajak mereka berinvestasi, yang jujur tentunya, transparan, profesional,
amanah, bagus, penuh spirit. Toh mereka akan ke pasar. Akan belanja. Kenapa ga
mereka yang menjadi pemilik saja? Harusnya bisa.
Entahlah siapa yang bisa mempersatukan ini semua, seperti kisah
Patih Gajah Mada yang katanya pemersatu nusantara. Saya pribadi belum merasa
bisa kapasitasnya. Kecuali ini semua dikerjakan bersama-sama. Masing-masing
mulai berpikiran seperti ini di semua sektor masing-masing.
Ketika misalnya, satu pabrik mau memperluas pabriknya, pake aja
ala berpikir yang sama. Kumpulin karyawannya, kasih pencerahan, hubungkan
dengan perbankan, bertindak jadi avalisnya, penjaminnya, diaturkan mekanisme
keuangan, dan jadilah karyawan lama menjadi investor baru pabriknya.
Ada loh, 1 pabrik, 1 perusahaan, yang jumlah karyawannya belasan
ribu, bahkan sampe di atas 20rb. Saya mengenal koq 1-2 kawan juga, yang punya
karyawan 24 ribu dan 26 ribu. Ini kan fantastis. Jika dunia perbankan
diperkenalkan ulang ke mereka. Diperkenalkan ulang loh ya. Sebab sebelumnya
udah saling mengenal.
Dunia perbankan udah mengenal mereka, dan mereka udah
dikenal dunia perbankan. Tapi bukan dari sisi investor, modal usaha, peluang
naikin derajat dan harkat. Bukan. Melainkan untuk pengumpulan uang atau dana
pihak penabung/deposan, dan maaf, untuk kredit konsumi. Jangan dong. Kalo bisa,
dari sisi yang baru. Sisi investasi, ownership, kepemilikan, dengan bantuan
perbankan.
Dari perusahaan kecil saja, punya 2 kawan saya yang sudah disebut
di atas, udah gede banget. Apalagi ini 24 ribu atau 26 ribu. Ini kan 12 sampe
13x lipatnya. Berarti bisa mencapai berapa? Saya tuntasin hitungannya.
Jika
masing-masing karyawan bisa dapat kredit 20 juta saja, dan 20 jutanya ini
diputer di pabrik atau di perusahaan kawan saya tadi, di perusahaan tempat
karyawan-karyawan ini bekerja, subhaanallaah, maka dana yang didapat sudah
mencapai 480 milyar untuk yang 24 ribu karyawan. Dan 520 milyar untuk yang 26
ribu karyawan.
Bayar angsurannya kredit karyawan yang jadi modal balik bagi
perusahaan dari mana?
Ya diajarin juga dong karyawan-karyawan tentang pengelolaan
keuangan. Diajarkan juga doa-doa, diajarkan hidup hemat, prihatin, minimal
selama investasi sedang berjalan di perusahaan tersebut. Toh, secara kalo
perusahaan belum memberikan hasil, nyatanya mereka bisa mengembalikan kredit 20
juta per orang dengan cara potong gaji. Apalagi kemudian bisa dapat – kelak –
bagi hasil dari keuntungan itu perusaahan.
Gede bener dah. Keangkat dah harkat
dan derajat karyawannya sendiri. Ga seperti selama ini, yang hanya berstatus
karyawan. Dapat kredit, untuk konsumsi. Yang begini ini harus ada kemauan dari
semua pihak.
Dan saya serta banyak lagi kawan-kawan ga keberatan sama sekali
untuk memberikan pelatihan, pengajaran, atau minimal motivasi. Majunya, maju
bareng gitu loh. Ga seperti sebagian besar pengalaman sekarang ini. Duit orang
kecil ngumpul, tapi dipake buat usaha orang-orang besar yang kadang ga inget
sama orang kecil.
Giliran orang kecil make, karena keterbatasan ilmu, makenya
konsumsi. Disuruhnya untuk konsumsi terus. Bahkan diarahkan kesannya, dengan
bertebarannya iklan-iklan konsumtif. Bahkan nih, kadang pemerintah, pake alat
ukur pertumbuhan ekonomi, pake ukuran konsumsi. Pake ukuran belanja warganya.
Ini kan palsu. Ga bener.
Sebaliknya, bila orang kecil pengen usaha, dengan minjam misalnya
1 s/d 5jt, ampuuuuuunnn susahnya. Prosedur. Maklum sih. Kan mereka juga harus
safety. Bukan bagi-bagi duit. Mafhum dah. Namun tetap aja ada ketidakrelaan,
kalau justru untuk pembiayaan yang sudah besar-besar, bener-bener diperlancar,
tanpa kemudian kepemilikan dan kue usaha itu dibagi ke masyarakat kecil
kesempatannya.
Dalam satu kesempatan tausiyah tentang ekonomi, keuangan,
perbankan, investasi, saya yang sedikit sok tahu ini, ngajak kawan-kawan untuk
tidak nganggep sepele duit kecil.
Gini, kadang kan sebagian orang bilang, “Ah, duit saya di bank mah
ga seberapa. Palingan 100rb... 200rb... 500rb...” Mereka lupa, kadang jumlah
orang yang duitnya segitu tuh bisa 1jt, 2jt, atau malah 10jt orang.
Dan itu
sudah tahu kan hitungannya? Berapa tuh? Bolehlah kemudian saya bilang, tidak
sedikit potensi dan peluang ekonomi akhirnya bisa kegarap dari “duit tidur”
seperti itu. Disebut duit tidur, sebab karena sedikit, barangkali ga
diliat-liat juga sama pemilik dananya. “Toh, cuma sedikit...”, begitu katanya.
Sekarang biar clear, kita coba hitung saja. Bila ada lembaga
keuangan bank dan nonbank, dengan jumlah total nasabah, katakanlah 10jt, dengan
masing-masing “duit tidur” nya 100rb, maka itu sudah kita hitungkan di atas...
Sebesar 1T.
Kalo 200rb...? 2T.
Kalo 500rb...? 5T.
Maka bila kemudian ada sebuah bank dan lembaga keuangan nonbank,
membiayai bisnis properti misalnya, “cuma” 600rb, atau katakanlah ada yang
sampe dibiayai 2,2T, maka sesungguhnya, itu masih bisa dicover sama duitnya
orang-orang kecil. Maasyaa Allah kan?
Secara iseng, saya katakan juga, bahwa andai bayi-bayi perempuan,
yang di telinganya ada antingnya, walo masing-masing setengah gram, dan pake
cincin pula, plus anak-anak perempuan balitanya, dengan asumsi anting dan
cincin, plus lagi mungkin gelang dan kalung, maka jika dilepaskan emas bayi dan
balita perempuan, sudah pula akan bisa dipake dananya untuk mengakuisisi
perusahaan menengah bahkan besar.
Apalagi nih, bila ditambah dengan seluruh ibu-ibu, he he he, pada
copot emas semua... Wuah, ga kebayang dah berapa tuh dana yang bisa diputer.
Ini bukan cerita sedekah. Ini cerita investasi. Insya Allah kelak
cincin, anting, kalung, gelang, yang dulu dilepas, bisa dibeli lagi dalam
jumlah gram yang lebih besar.
Jangan lupa sejarah loh. Ini bukan bercanda. Emas-emasnya rakyat
Aceh lah yang sudah membuat negeri ini atas izin Allah, dulu memiliki pesawat
yang kelak menjadi cikal bakal Garuda Indonesia.
Artinya apa? Kemungkinan itu sangatlah ada, dan terbuka.
Belum lagi pengalaman Indonesia dulu mendirikan Bank Syariah
pertama di Indonesia yang rasanya semua tahu namanya apa? Itu kan dari
uang-uang yang relatif recehan. Dikumpulkan, dan kemudian berdirilah Bank
tersebut. Sekarang, modalnya relatif jadi mayoritas milik asing.
***
salah satu alasan kenapa harus BELI ULANG Indonesia dengan#IndonesiaBerjamaah
PART 4 KLIK DISINI
No comments:
Post a Comment