Monday, August 12, 2013

Indonesia Berjamaah untuk Beli Ulang Indonesia Part 3

Kembali sedikit ke pengusaha sawit tadi. Ga apa ga meninggalkan perbankan. Ga apa ga  meninggalkan pengusahanya. 

Libatkan saja semuanya. Pengusahanya menjadi pengelolanya. Masyarakat pemilik lahan sawit, menjadi mitranya, sekaligus pekerjanya, sekaligus sebagai investornya. 
Perbankan, dan bupati, memediasi semua ini supaya kemudian berjalan. Keren dah. Ntar pemerintah dapat pajaknya, dan orang-orang seperti Yusuf Mansur, he he he, Baznas, dan lembaga-lembaga amil zakat infak dan sedekah, gerakan-gerakan sedekah, dapat zakat dan sedekahnya, untuk kemudian menggerakkan lagi ekonomi masyarakat yang lebih besar, dan luas.

Kita coba lihat sejenak ke bisnis properti.
Pernah baca ya, berita bahwa 1 bank memberi kredit 600 milyar pengusaha properti/perusahaan properti? Atau berita 1 properti besar dikucurkan dana di atas 1T. Itu dana tetap aja ya dari masyarakat.

Apa yang terbaca?
Banyak positifnya. Di antaranya, adanya tenaga kerja baru. Adanya roda ekonomi yang lebih berputar. Dan masih banyak lagi. Termasuk, kocek pengusahanya, pundi perusahaannya, juga bertambah. Bertambah pula nanti pajak daerah dan negara. Bila dia muslim yang taat, akan bertambah zakat dan sedekahnya. Belum lagi pajak dari karyawan, supplier, dan lain-lain.

Tapi ada yang “bolong” sedikit. Apa tuh? Entahlah. Dari sisi saya, sebagai orang Betawi yang lahannya hilang banyak, ada 1-2 “kesalahan” sistem. Yakni, tidak memberikan ruang, porsi, kesempatan, lebih, kepada justru ke pemilik dana, yakni penabung, dan pemilik lahan, yang kelak akan dibayar-bayarin oleh pengusaha/perusahaan properti tersebut. Pemilik dana, dan pemilik lahan, ga punya akses lebih besar lagi ke, di, dan dari peluang yang ada. Pemilik dana, “hanya” diberi 2% saja oleh banknya.

Pemilik lahan apalagi, sebab ketidakberdayaan ilmu, keahlian, pengalaman, di bidang properti, maka mereka ga menikmati apa-apa dari penjualan lahannya. Dibelikan lahan yang lebih gede, sudah ga mungkin. 

Habis dibagi ahli waris, dengan aneka tingkah, perbuatan, dan tabiatnya. Menjadikan duit hasil jual beli lahannya, ga jadi apa-apa. 

Banyak pemilik lahan, akhirnya jadi pekerja kasar, budak, di lahannya sendiri. Rumahnya kian sempit, sesak, dan akhirnya secara ekonomi, kehidupan sosial, bahkan agama, akhirnya hancur tatanannya.

Bisa kah kemudian bersatu? Bisa. Asal semua punya kemauan. Termasuk kemauan belajar dari para pemilik lahan, kemauan mengajari juga, dan lain-lain, yang akan menjadi diskusi kita.
Di Industri perbankan, sama saja. Cari modalnya jangan ke asing. Jangan keluar dari banknya, maka akan selamat. Tawarin dong penabungnya.

Untuk meningkat menjadi investor, menjadi pemilik. Jangan malah opportuniti itu malah dikuasakan ke orang asing. Di industri dirgantara, pesawat terbang, begitu juga. Penumpang dinaikkan kedudukannya dari target market menjadi pelaku market. Naik menjadi investor. Diajak untuk memberdayakan duitnya sendiri untuk membangun industri pesawat terbang dengan industri yang mengikutinya.

Di industri transportasi darat, laut, juga demikian. Keren dah kalo begini.
Ketika membangun pasar, masyarakat diajak sebagai pemilik. Selain diajak sebagai tenan, pengelola, pemilik kios, ajak mereka sebagai investor.

Sesungguhnya investor punya tempat dan martabat yang tinggi sekali. Ajak mereka berinvestasi, yang jujur tentunya, transparan, profesional, amanah, bagus, penuh spirit. Toh mereka akan ke pasar. Akan belanja. Kenapa ga mereka yang menjadi pemilik saja? Harusnya bisa.

Entahlah siapa yang bisa mempersatukan ini semua, seperti kisah Patih Gajah Mada yang katanya pemersatu nusantara. Saya pribadi belum merasa bisa kapasitasnya. Kecuali ini semua dikerjakan bersama-sama. Masing-masing mulai berpikiran seperti ini di semua sektor masing-masing.

Ketika misalnya, satu pabrik mau memperluas pabriknya, pake aja ala berpikir yang sama. Kumpulin karyawannya, kasih pencerahan, hubungkan dengan perbankan, bertindak jadi avalisnya, penjaminnya, diaturkan mekanisme keuangan, dan jadilah karyawan lama menjadi investor baru pabriknya.

Ada loh, 1 pabrik, 1 perusahaan, yang jumlah karyawannya belasan ribu, bahkan sampe di atas 20rb. Saya mengenal koq 1-2 kawan juga, yang punya karyawan 24 ribu dan 26 ribu. Ini kan fantastis. Jika dunia perbankan diperkenalkan ulang ke mereka. Diperkenalkan ulang loh ya. Sebab sebelumnya udah saling mengenal. 

Dunia perbankan udah mengenal mereka, dan mereka udah dikenal dunia perbankan. Tapi bukan dari sisi investor, modal usaha, peluang naikin derajat dan harkat. Bukan. Melainkan untuk pengumpulan uang atau dana pihak penabung/deposan, dan maaf, untuk kredit konsumi. Jangan dong. Kalo bisa, dari sisi yang baru. Sisi investasi, ownership, kepemilikan, dengan bantuan perbankan.

Dari perusahaan kecil saja, punya 2 kawan saya yang sudah disebut di atas, udah gede banget. Apalagi ini 24 ribu atau 26 ribu. Ini kan 12 sampe 13x lipatnya. Berarti bisa mencapai berapa? Saya tuntasin hitungannya. 

Jika masing-masing karyawan bisa dapat kredit 20 juta saja, dan 20 jutanya ini diputer di pabrik atau di perusahaan kawan saya tadi, di perusahaan tempat karyawan-karyawan ini bekerja, subhaanallaah, maka dana yang didapat sudah mencapai 480 milyar untuk yang 24 ribu karyawan. Dan 520 milyar untuk yang 26 ribu karyawan.

Bayar angsurannya kredit karyawan yang jadi modal balik bagi perusahaan dari mana?
Ya diajarin juga dong karyawan-karyawan tentang pengelolaan keuangan. Diajarkan juga doa-doa, diajarkan hidup hemat, prihatin, minimal selama investasi sedang berjalan di perusahaan tersebut. Toh, secara kalo perusahaan belum memberikan hasil, nyatanya mereka bisa mengembalikan kredit 20 juta per orang dengan cara potong gaji. Apalagi kemudian bisa dapat – kelak – bagi hasil dari keuntungan itu perusaahan. 

Gede bener dah. Keangkat dah harkat dan derajat karyawannya sendiri. Ga seperti selama ini, yang hanya berstatus karyawan. Dapat kredit, untuk konsumsi. Yang begini ini harus ada kemauan dari semua pihak.

Dan saya serta banyak lagi kawan-kawan ga keberatan sama sekali untuk memberikan pelatihan, pengajaran, atau minimal motivasi. Majunya, maju bareng gitu loh. Ga seperti sebagian besar pengalaman sekarang ini. Duit orang kecil ngumpul, tapi dipake buat usaha orang-orang besar yang kadang ga inget sama orang kecil.

 Giliran orang kecil make, karena keterbatasan ilmu, makenya konsumsi. Disuruhnya untuk konsumsi terus. Bahkan diarahkan kesannya, dengan bertebarannya iklan-iklan konsumtif. Bahkan nih, kadang pemerintah, pake alat ukur pertumbuhan ekonomi, pake ukuran konsumsi. Pake ukuran belanja warganya. Ini kan palsu. Ga bener.

Sebaliknya, bila orang kecil pengen usaha, dengan minjam misalnya 1 s/d 5jt, ampuuuuuunnn susahnya. Prosedur. Maklum sih. Kan mereka juga harus safety. Bukan bagi-bagi duit. Mafhum dah. Namun tetap aja ada ketidakrelaan, kalau justru untuk pembiayaan yang sudah besar-besar, bener-bener diperlancar, tanpa kemudian kepemilikan dan kue usaha itu dibagi ke masyarakat kecil kesempatannya.

Dalam satu kesempatan tausiyah tentang ekonomi, keuangan, perbankan, investasi, saya yang sedikit sok tahu ini, ngajak kawan-kawan untuk tidak nganggep sepele duit kecil.
Gini, kadang kan sebagian orang bilang, “Ah, duit saya di bank mah ga seberapa. Palingan 100rb... 200rb... 500rb...” Mereka lupa, kadang jumlah orang yang duitnya segitu tuh bisa 1jt, 2jt, atau malah 10jt orang. 

Dan itu sudah tahu kan hitungannya? Berapa tuh? Bolehlah kemudian saya bilang, tidak sedikit potensi dan peluang ekonomi akhirnya bisa kegarap dari “duit tidur” seperti itu. Disebut duit tidur, sebab karena sedikit, barangkali ga diliat-liat juga sama pemilik dananya. “Toh, cuma sedikit...”, begitu katanya.
Sekarang biar clear, kita coba hitung saja. Bila ada lembaga keuangan bank dan nonbank, dengan jumlah total nasabah, katakanlah 10jt, dengan masing-masing “duit tidur” nya 100rb, maka itu sudah kita hitungkan di atas... Sebesar 1T.
Kalo 200rb...? 2T.
Kalo 500rb...? 5T.

Maka bila kemudian ada sebuah bank dan lembaga keuangan nonbank, membiayai bisnis properti misalnya, “cuma” 600rb, atau katakanlah ada yang sampe dibiayai 2,2T, maka sesungguhnya, itu masih bisa dicover sama duitnya orang-orang kecil. Maasyaa Allah kan?

Secara iseng, saya katakan juga, bahwa andai bayi-bayi perempuan, yang di telinganya ada antingnya, walo masing-masing setengah gram, dan pake cincin pula, plus anak-anak perempuan balitanya, dengan asumsi anting dan cincin, plus lagi mungkin gelang dan kalung, maka jika dilepaskan emas bayi dan balita perempuan, sudah pula akan bisa dipake dananya untuk mengakuisisi perusahaan menengah bahkan besar.

Apalagi nih, bila ditambah dengan seluruh ibu-ibu, he he he, pada copot emas semua... Wuah, ga kebayang dah berapa tuh dana yang bisa diputer.

Ini bukan cerita sedekah. Ini cerita investasi. Insya Allah kelak cincin, anting, kalung, gelang, yang dulu dilepas, bisa dibeli lagi dalam jumlah gram yang lebih besar.
Jangan lupa sejarah loh. Ini bukan bercanda. Emas-emasnya rakyat Aceh lah yang sudah membuat negeri ini atas izin Allah, dulu memiliki pesawat yang kelak menjadi cikal bakal Garuda Indonesia.

Artinya apa? Kemungkinan itu sangatlah ada, dan terbuka.
Belum lagi pengalaman Indonesia dulu mendirikan Bank Syariah pertama di Indonesia yang rasanya semua tahu namanya apa? Itu kan dari uang-uang yang relatif recehan. Dikumpulkan, dan kemudian berdirilah Bank tersebut. Sekarang, modalnya relatif jadi mayoritas milik asing.

***  
salah satu alasan kenapa  harus BELI ULANG  Indonesia dengan#IndonesiaBerjamaah





No comments:

Post a Comment