Saturday, August 31, 2013

Yusuf Mansur: Jeratan Hutang Membuat Negeri ini Kehilangan Duapertiga Nafasnya


Lemah akal, minimnya kualitas SDM, dan keserakahan telah membuat Indonesia kehilangan muka. Pintu kemakmuran yang sejatinya siap dimasuki Indonesia dengan istilah “lepas landas” bukan saja tertutup, melainkan pintu itu sendiri seakan hilang dan kabur dalam tujuan.


Lihatlah negeri ini, Indonesia. Negeri ini memiliki segalanya, keragaman kekayaan alam, lautan dan daratan, pegunungan dan perbukitan. Semuanya teramat mencengangkan dan mengundang birahi Negara lain untuk menjamah Indonesia . Apa pun sebenarnya dari negeri ini menebar sejuta pesona. Tetapi apa yang tersisa? Hampir tidak ada, kecuali warisan utang bagi anak bangsa dan masa depannya.

Dulu, penjajah fisik berusaha merampok secara halus atau kasar kekayaan negeri ini. Kini, justru kita yang ‘menyerahkan’ hampir separuh kekayaan kita. Dan itu terjadi begitu saja, lantaran kebodohan dan keserakahan. Kebiasaan berhutang tetapi tak memakainya untuk kegiatan produktif menjadi alasan utama beralihnya asset nasional ke tangan asing. Telinga ini bosan mendengar bahwa hutang – hutang Negara yang jumlahnya cukup fantastis, digunakan  untuk kepentingan pribadi dan dibayar melalui uang rakyat.  Amboi,  nerakalah masa depan bangsa ini.

Kita sering tidak bisa belajar dari sejarah bangsa. Bagaimana dulu Belanda menjajah negeri ini. Mula – mula ia mengadakan jalinan dagang, kemudian ia tebarkan kuku – kuku yang menancap kuat dengan memberikan permodalan dan menguasai sentra-sentra perekonomian negeri. Mereka juga membangun pos – pos serta diturunkan juga kekuatan Negara mereka. Bukan hanya tentara yang menjaga kepentingan mereka, tetapi juga lengkap dengan tim medis, ahli hukum, birokrat, ekonom hingga wanita – wanita penghibur. Ketika bangsa ini tidak bisa lagi bernafas, barulah mereka menampakan wajah aslinya yang sebenarnya.

Tetapi kini, ketika alam kemerdekaan dihirup, justru kita yang memakai pola – pola penjajah. Menjajah bangsa sendiri, menghisap madu negeri ini dan membiarkannya layu. Berhutang kanan berhutang kiri, meski tidak punya kemampuan membayar. Atau karena memang tidak mau bayar. Berutang menjadi lebih wajib ketimbang mengumpulkan modal dari sumber daya alam sendiri.

Indoensia ini aneh, ketika sudah tidak ada yang mengadu domba, justru kita yang menciptakan perkelahian di antara diri kita sendiri. Ketika tidak ada yang mengundang permusuhan, kita justru yang menyebarkan undangan untuk keributan, kericuhan,  dan kerusuhan.  Ketika kita dijajah lantaran kebodohan, kini kita bangkrut juga lantaran kebodohan. Bodoh tidak bisa memanfaatkan anugrah Tuhan yang begitu luar biasa, bodoh tidak bisa menghargai segala karunia-Nya. Bersiaplah menghadapi prosesi pemakaman sebuah Negara. Bersiaplah menghadapi kepunahan negeri ini, kehancuran bangsa ini.

Sejak dulu, bangsa ini sudah sadar akan tidak enaknya dijajah. Sejak penjajah mulai menancapkan kaki – kakinya di negeri ini, mungkin pendahulu kita juga sudah sadar akan bahaya yang akan menghadang. Akan tetapi, kesadaran tersebut tertutup oleh persoalan internal bangsa. Energi habis untuk mengurusi persoalan sendiri, antar bangsa sendiri. Kira dulu diributkan oleh pertikaian antar kelompok sendiri. Lalai bangsa ini, kalau justru ada pemangsa yang sedang menyiapkan kuda – kuda dan menebar jarring untuk memangsa.

Saat itu, bangsa ini menjadi terlambat menyadari. Berapa waktu yang dibutuhkan untuk mengusir mereka,  puluhan bahkan ratusan tahun. Untunglah masih ada pemikir – pemikir dan pejuang yang murni memperjuangkan kemerdekaan bagi masyarakat.  Untunglah Tuhan masih berkenan menolong. Kalau tidak, tentu tidak aka nada cerita Indonesia bangkrut lagi karena tidak pernah merdeka !

Parahnya, setelah kemerdekaan teraih, warisan keburukan internal itu yang ikut terwariskan, bukan keluhuran budi dan akal para pendahulu. Sikap egois, saling curiga, tamak, suka mengadu domba dan diadu domba, mals, bodoh, itu yang diambil sebagai warisan. Bahkan rasanya semua kekurangan di atas sudah menjadi budaya hingga hari – hari terakhir ini.

Saat ini pun, sebenarnya kesadaran untuk berbenah dan kesadaran untuk belajar dari kesalahan sudah hinggap kembali di banyak indovidu bangsa ini. Hanya saja belum menjelma menjadi sebuah kekuatan yang maha dahsyat untuk segera bisa mengubah peruntungan nasib negeri ini.

Semuanya prihatin, semuanya khawatir, bahwa kita akan mendapati negeri ini kembali terjajah. Terjajah oleh imperialism modern, bahkan imperialism yang dilakukan oleh bangsa sendiri. Para pemimpin, para elite politik saling bertikai, membuat bangsa ini terpecah – belah. Jeratan hutang sudah membuat negeri ini kehilangan dua pertiga nafasnya.  Perusahaan – perusahaan besar berskala nasional dan menjadi denyut nadi Negara juga pelan – pelan diambil alih oleh bangsa asing. Negeri ini terpaksa melepas asset – asset nasional dans entra ekonomi kepada pihak kreditor dan atau terambil alih, atau … punah lantaran bangkrut total.

Kita sama berharap, semoga kesadaran menyadari hal di atas cepat membuahkan tindakan positif. Supaya ketika mata ini terbuka, kita belum menjadi debu. Supaya ketika mata ini terbuka kita masih dapat melihat anak – anak Indonesia ceria dan mengurai senyum. Ya, samalah berharap agar kita semua dapat berbenah diri. Siapa pun tentu tidak ingin mendapati negeri ini terjajah kembali, baik fisik maupun psikis. Keterjajahan akan membuat kebebasan terikat.

Banyak kawan yang protes terhadap pendapat bahwa Negara ini akan bangkrut. Kata mereka, Negara ini justru sudah bangkrut ! Sudah diajjah ! Nagar ini sudah tergadai, berikut kehormatan, harga diri dan harapan bangsanya. Dan yang lebih parah lagi, ketika terpuruk, justru ada pohak – pihak yang mengambil kesempatan dalam kesempitan dana mengambil tindakan penyelamatan untuk dirinya sendiri saja. Persis seperti ribuan penumpang karam yang berebut hanya puluhan sekoci.

Meski demikian tetaplah lebih baik optimis terus, bahwa negeri ini belumlah hancur. Tentu saja sifat optimistic harus dibarengi dengan pembenahan – pembenahan. Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Tidak ada yang bangkrut kemudian tidak bisa jaya lagi. Sebagaimana sangat mungkinnya yang jaya pun bisa menjadi hina. Sekali lagi, mari lakukanlah pembenahan dan pembenahan tidak usah berharap dimulai dari orang lain. Mulai saja dari diri sendiri dan lingkungan sekitar, pasangan hidup, anak, adik, kakak dan seterusnya. ***


*Referensi :  Buku Membumikan Rahmat Allah karangan Ust. Yusuf Mansur  hal 113- 118

Tuesday, August 13, 2013

Indonesia Berjamaah untuk Beli Ulang Indonesia Part 6

Ok. Kita rem pelan-pelan pemaparan ini... 100, 90, 80... 30, 20, 10... 0... Tarik nafas dulu. Kendorin.
***
Kita balik lagi...
Pemaparan ini, udah kejauhan. Padahal ini baru mukaddimah, he he he.
Saya bilang, kita akan bicara bagaimana Indonesia dan masyarakatnya akan menjadi satu negara super maju, super bekah, super manfaat. Jadi jagoan, jadi raja, bukan hanya di lokal, regional, tapi juga secarainternasional.

Setelah pemaparan yang cenderung tancep gas tadi, saya pengen ngendapin lagi... Yakni, kita akan bicara, dari sisi yang ringan, yang insyaaAllah tidak akan membuat kita semua berkernyit. Secara saya sendiri bukan ahli ekonomi, ahli keuangan, ahli binis, ahli tata negara, ahli manajemen, ahli administrasi, ahli politik.
Kita akan bicara dari sisi saya sebagai – katanya -- seorang ustadz, he he.
Mudah-mudahan sumbang saran ini akan berguna menjadi perenungan bersama. Aamiin.
Saya pun akan berusaha berbicara dengan tidak ketinggian, yang bisa dimengerti oleh semua lapisan masyarakat. Sebab nanti jawaban buat semuanya, berpaling lagi ke seluruh lapisan masyarakat itu sendiri, dengan izin Allah subhaanahu wata'aalaa. Yang karenanya maka perlu membuat tulisan yang dimengerti oleh sebanyak-banyaknya orang.
***
Yuk, sekarang kita mulai tancep gas lagi bicaranya...
Kayak naik motor atau mobil dah. Mulai ngegas lagi...
Saat ini, boleh dibilang, dunia sudah menjadi pasar bebas. Di Indonesia, kebebasan pasar ini bisa menguntungkan, bisa juga membahayakan. Istilah Cash is the King, bisa sepenuhnya benar, bisa tidak. Tapi yang punya uang, punya modal, memang jadi penentu. Apalagi jika yang punya uang, yang punya modal, ketemu dengan pemegang kebijakan, kekuasaan, dan peluang, yang tidak cinta tanah airnya, tidak cinta negaranya, tidak pro pada kepentingan rakyat, tidak mikirin anak cucu di masa yang akan datang. 

Maka pemilik uang, pemilik modal, akan bener-bener menjadi penikmat banyak peluang usaha, ekonomi, dan sumber daya alam dan orang, di Indonesia. Dan mereka akan membungkam mulut, rasa malu, rasa takut pemegang kebijakan, kekuasan, dan peluang.
Dan sebenernya, jika benar cash is the king, menguntungkan juga buat Indonesia, bila bersatu, berjamaah, sebab ya kita bakal punya cash yang luar biasa besarnya. Jangan-jangan nanti Amerika, China, Singapore, Australia, Eropa, Arab, Afrika, Asia, minjemnya sama Indonesia. Seperti dihitungin di atas, kita bakal punya 10rb trilyun.

Satu hal, ini kenyataan. Dalam satu lawatan ke Taiwan, saya pernah membaca spanduk isinya bertuliskan terima kasih pemerintah dan pimpinan Taiwan, kepada Nakerwan. Bahwa uang mereka sudah ikut membangun negeri Taiwan. Dahsyat kan? Alhamdulillah.

Dan sesungguhnya, pemikiran ini, gagasan ini, oret-oretan ini, bukan milik saya saja. Sudah buanyak yang memikirkannya, mengandai-ngandaikannya, membayangkannya. Hanya kebetulan, dengan izin Allah, saya mencoba mengaplikasikannya. Langsung jalan. Langsung action. Kejedot sana kejedot sini. Tapi saya jadi tersenyum, betapa oret-oretan ini bener banget. Ga pake keringetan, kita bisa take-over hotel dengan nilai taksasi dan aset bisa mendapai 180 milyar saat sudah jadinya nanti.

Saat ini, bila ada negara asing berinvestasi di Indonesia, mereka sudah mulai membawa serta buruh-buruhnya, pekerja-pekerjanya. Bukan hanya level atas, tapi sampe pelaksana, langsung juga dari negeri mereka. Perlu diketahui, biasanya asing kalo sudah berinvestasi di negara lain, membawa serta bener seluruh kepentingannya. Mulai dari suplai barang-barangnya, kebutuhan-kebutuhan yang terkait dengan investasinya, kebijakan daerah atau negaranya, dll. Dan sekarang bertambah lagi. Mereka berinvestasi sambil membawa serta warganya u/ menjadi pekerja di sini.

Jangan kaget nanti bila kelak ada pekerja jalan tol, pekerja di pabrik-pabrik, pekerja di ladang-ladang sawah, kebun, pekerja-pekerja di industri peternakan, pekerja-pekerja di industri properti... Pekerja loh ini, buruh, maaf, dan mereka bukan dari Indonesia. Mereka boyongan oleh dan dari investor asing. Sebagai syarat yang bakal diaminin pemegang/pemangku kekuasaan yang ga peka dengan soal sosial ke depannya. 

Mereka akan mengiyakan saja semua syarat asing, yang penting kebutuhan mereka terpenuhi. Sekarang ini saja, sudah mulai ada 1-2 daerah yang sudah banyak sekali tenaga kerja asingnya, hingga ke low level yang harusnya diisi oleh Indonesia. Secara Indonesia banyak banget penganggurannya, masyarakat bawah yang butuh pekerjaan u/ makan, hidup normal. Dan Indonesia banyak banget juga tenaga kerja luar negerinya: TKI dan TKW.

Jangan kaget juga suatu saat, akan ada perusahaan transportasi, he he he, yang sa-supir-supirnya, teknisi-teknisinya, office-offie boy-nya, diimpor dari negara investor.

Lama-lama mereka membentuk pasar sendiri di Indonesia, membentuk pemukiman sendiri di Indonesia, dan berkoloni. Kalau terlanjur besar, susah diusirnya. Kita lah yang kemudian terusir.
Suatu bentuk penjajahan yang ga baru-baru amat. Udah berlangsung juga sebenernya. Warga negara kita yang terhormat, bukan jadi pembantu, pelayan, sekuriti, asisten, di rumah mereka, di negeri mereka. Tapi justru pembantu, pelayan, sekuriti, asisten, di rumah-rumah mereka, yang di Indonesia! Dan konyolnya, para pembantu dan pelayan itu, adalah orang Indonesia yang seharusnya pemilik segala opportuniti atau peluang yang sedang dikuasakan ke asing.

Bayangan saya, harusnya justru Indonesialah yang harusnya seperti itu. Indonesia menjadi pemain dunia. Perusahaan-perusahaan di Indonesia menancapkan kukunya, pengaruhnya, wibawanya, manfaatnya, yang justru ke seantero dunia. Bukan sekedar mengirimkan tenaga kerja murah ke luar negeri. Tapi bener-bener jadi pemain, pemilik, dari segala potensi ekonomi, usaha, bisnis, perdagangan, seluruh dunia.

Bahkan kalo perlu, di dunia olahraga. Seperti Syeikh-Syeikh Arab dan Timur Tengah yang mewarnai dunia persepakbolaan, balap mobil, motor, dan lain-lain. Malaysia saja, negara tetangga kita, dan Singapore, sudah menjadi tempat penyelenggaraan balap mobil dan motor berskala dunia. Padahal potensi alam Indonesia, lebih menarik u/ jadi destinasi penyelenggaraan-penyelenggaraan event internasional. Apapun eventnya. Namun kenyataan pahit, Indonesia justru lebih menarik dari sisi di sini banyak kuenya yang bisa dinikmati dan direbut oleh asing, dengan sangat-sangat mudah. Mereka bukan mencari. Tapi diundang. MaasyaaAllah.

Sekalinya ada pertandingan sepakbola yang kelihatannya mendunia, sifatnya saya pikir hanya Sportainment dan Bisnistainment. Hiburan saja. Itu pun kekalahan telak suka disandang Indonesia. Ga jelas visi misinya. Hanya karena pengennya berjiwa the winner, ya ga berpikiran ke sana. Setidaknya ga dibawa ke pikiran itu. Dibawanya, ke: Insya Allah apapun manfaat. Toh dengan bergulirnya pertandingan dunia di Indonesia, bergulir juga ekonomi. Aamiin dah, walo tetap miris.

Potensi-potensi pariwisata, pun tidak sedikit yang bahkan dikelola oleh asing.
Luar biasa dah Indonesia ini "baiknya". Lihat saja, buka mata, seliweran asing menikmati potensi di dunia perbankan. Berapa banyak coba bank-bank sekarang dimiliki asing? Bahkan seperti sudah disinggung di atas, yang saya ga bosen ngulanginnya, bank yang didirikan dengan semangat '45, untuk memiliki bank pertama yang syariah, diikuti, didukung, digerakkan, oleh ratusan ribu masyarakat Indonesia dengan uang-uang kecilnya, hingga kemudian berdirilah bank yang diidam-idamkan saat itu, eh eh eh, sekarang pun saham mayoritasnya milik asing. Boleh dikatakan malah ya udah milik asing.

Kita susah buat buka di luar negeri. Baik itu sebab regulasi dari kita, maupun regulasi negara lain. Tapi bank-bank negara asing, malah masuk ke sektor mikro, dan difasilitasi! Top dah. Surga dunia, he he he, bagi negara-negara lain. Makin kasian rakyat. Jika naro di lembaga keuangan bank dan nonbank, dapatnya kecil, tapi ketika mereka minjem, dari kredit mikro, maasyaa Allah itu bunganya gila-gilaan.

Asuransi, yang kuenya trilyunan, dibawa itu investasi hebatnya ke asing, dan kemudian dengan uang kita sendiri itu kemudian masuk lagi sebagai investasi tambahan mereka. Wuih... Ngeri...
Belum sesuatu yang memang sudah masyhur diketahui... Dunia pertambangan, energi, dan mineral. Kekayaan yang namanya batubara, emas, gas, dan lain-lain sumber daya, berapa coba yang sudah dimiliki asing, hampir-hampir juga tanpa batas.

Kepentingan uang, bersatu dengan kepentingan kekuasaan. Yaaa Allah, yang jadi korban adalah bener-bener rakyat. Ga mikir itu semua bahwa kita akan punya anak cucu.
Asing juga sudah sangat hebat menguasai dan mengontrol soal-soal yang harusnya dikuasi negara penuh, sebab menyangkut hajat publik: laut, air. Ini airnya bahkan air minum loh! Dahsyat kan? Belum lagi udara atau langitnya Indonesia.

Dunia telko, yang indah banget bisnisnya... Sebab jumlah rakyat yang nyaris 300jt atau bahkan udah lewat kali dari 300jt, sekarang ini melek HP semua. Berapa trilyun yang bisa disedot dari pulsa? Bahkan pulsa pun menjadi barang investasi "nganggur" yang diberdayakan oleh perusahaan telko tsb. Kan orang beli pulsa, belom tentu langsung kepake tuh. Nah, selama ga kepake juga, itu pengguna udah bayar duluan. Belum lagi layanan telko lain                selain pulsa... Gadget-gadget sampe bahkan fisiknya gadget, pun didominasi asing. Ya, sebab dunia telko pun tidak ketinggalan, kuenya dimakan oleh asing.

Saya cukup menyesali pindah tangannya kepemilikan 1-2 dunia telko. Secara kalo patungan, pengguna telko di Indonesia bisa koq mendatangkan uang seperti yang "dibutuhkan" mereka-mereka yang menjual kepada asing. Liat saja, ketika 1 telko dijual, saat dijual pelanggannya di atas 40jt koq. Nah ini kan harusnya dilirik, ditawari, diperjuangkan, agar 40jt yang pastinya rakyat Indonesia ini,yang menjadi pemilik atas peluang bisnis, usaha, mata rantai ekonomi, dari telko yang mereka sendiri ini penggunanya. Kan keren tuh.

Tapi yang terjadi? Negara-negara kecil, yang penduduknya bahkan jauh dari jumlah pelanggannya, bukan dibandingkan dengan jumlah total penduduk negara loh, ini akhirnya yang menjadi owner.

Kayak ga berdaya ya?
Padahal?
Diperdaya kali. Itu bahasa tepatnya.

Bener lah kalimat pepatah. Dulu kita mudah berjuang. Sebab musuhnya bener-bener orang asing. Sekarang, rada susah, sebab musuhnya bertambah, yakni orang kita sendiri. Sodara sendiri. Kawan sendiri.
Laa hawla walaa quwwata illaa billaaah.
Negara-negara asing, tanpa jet-jet tempur, tanpa prajurit-prajurit tempur, tanpa tank-tank, roket, senjata, menguasai juga dengan bebas lahan-lahan properti di Indonesia, yang secara gegabah justru diundang oleh mereka-mereka yang pinter dan ahli di bidang properti, hukum dan keuangan. Mereka kemudian punya saham, yang kelak bukan hanya menikmati, tapi ikut memiliki.

Ini luar biasa bahayanya ke depan padahal.
Tapi ya saya baca di berita, terulang dan terulang. Seakan bangga dan menjadi prestasi bila bisa menggandeng investor asing. Innaa lillaah dah.

Lahan-lahan baru dibuka dan dikembangkan u/ properti, baik perumahan, perhotelan, pergudangan, pusat rekreasi, akhirnya sahamnya dimiliki asing. Konyol dah.
Dan saya melihat, bahkan mulai terjadi nih, di industri pendidikan.
Ya, pendidikan juga termasuk yang diminati investor asing.
Di potensi kelautan, kapal-kapal laut asing, sudah masuk perairan Indonesia, mengambil sendiri ikan-ikan di negeri kita, tanpa lagi juga pake tenaga kerja Indonesia.
Sungguh bahaya.

Dulu ikan-ikan diekspor. Sekarang nereka melaut sendiri, hampir-hampir tanpa batas.
Kemampuan kapal-kapal laut kita u/ mengintai, memburu, mengusir, yang sudah terbatas, baik karena kekurangan personil dan alat, tambah-tambah lagi kuatnya mereka sebab didukung oleh kebijakan yang salah atau kurang tepat dari pemangku kebijakan, kekuasaan dan peluang.

Gas-gas alam, minyak, dan lain-lain kekayaan alam, secara telanjang mata, begitu bebas dan serakah. Bukan saja seharusnya kita cegah dan larang dikuasai asing. Tapi kita justru malah mengundangnya. Innaa lillaah lagi.
Boleh dicatat ini, ketika mereka menguasai wilayah-wilayah kaya alam, bahkan orang kita sendiri dilarang keras masuk. Baik itu dicurigai sebagai maling, penganggu, ataupun sebab lainnya. Penjagaannya super ketat. Bahkan tidak jarang yang menjada kepentingan mereka, adalah orang-orang kita sendiri, yang tidak jarang pula bersenjata lengkap, yang siap menggertak dan mengusir, bukan dengan mulut saja, tapi dengan senjata mereka.

Luar biasa.

Maka ketika saya mendengar, membaca, ada SKK Migas, ada upaya u/ meninjau soal kontrak kerja atau kontrak karya, pola hubungan antara asing dan Indonesia, saya senang banget. Saya ga begitu mengerti. Tapi spiritnya saya nangkep. Mudah-mudahan baik sangkanya saya dan segenap warga negara Indonesia, menjadi doa.

Yang salah diperbaiki, yang kurang disempurnakan.
Dan tentu saya dan kita semua berharap, tidak akan pernah ada undang-undang dan konsep yang salah, bahkan fatal, yang mengakibatkan kerugiaan dan penderitaan di rakyat.
Lebih dari itu, saya sebenernya berharap, negeri ini, sudahlah tegak berdiri saja, pake kakinya sendiri, pake kekuatannya sendiri. Ga usahlah lagi berharap ada transfer teknologi, atau transfer manajemen. Wong zaman sudah berkembang sedemikian rupa, dan banyak sekali anak-anak bangsa yang jago-jago, puinter-puinter, hebat-hebat, yang pastinya mau berjuang u/ negerinya, untuk sesama warga negara Indonesia.

Dan bila negara butuh uang, rakyat juga kayaknya mampu membiayai pemerintah. Bahkan ketika dunia usaha butuh biaya juga, rakyat bila bersatu, akan sanggup memenuhi kebutuhan investasi yang dibutuhkan, tanpa perlu mengundang investasi asing, yang pastinya punya tabiat mengatur, mendominasi, menguasai.

Ada perusahaaan asing, begitu yang saya dengar, di dunia pendidikan, dunia yang seharusnya bukan menjadi usaha atau bisnis, menggelontorkan uangnya 70 milyar, +sistem tentunya, lalu balik dalam 2 tahun. Sebab emang orang Indonesianya – ke sekian kalinya saya bicara – jumlahnya emang kebanyakan. Alias banyak banget. Pasar empuk nan gurih. Dan anak-anak saya sendiri, he he he, berkali-kali datang menjadi pelanggan, dan penikmat "usaha" pendidikan yang katanya mencerdaskan bangsa itu.

Belom lagi soal makanan pokok, macam beras, persawahan, daging, peternakan, perikanan, dan urusan makanan lainnya, kekuatan asing, dan bahkan kekuatan serakah sebagian anak bangsa, begitu telanjang kita rasakan.
Peristiwa demi peristiwa ini akan terus ga kekontrol, bilamana kita ga memperbaiki diri dan mengubah diri. Akan selalu ada aja juga anak-anak bangsa yang justru menjadi penyuplai ide, kesempatan, peluang, potensi, Indonesia, ke asing. Dan kelak akan semakin banyak.
Kudu bener-bener berubah dan memperbaiki diri.

Dan saya beritahu, semua ini ga akan bisa ngerem dan direm kecuali Allah campur tangan.
Hanya Allah Yang Maha Berkehendak yang bisa ngerem ini semua, dan mengembalikan Indonesia untuk Indonesia.

Pertanyaannya, darimana? Darimana kita harus memulai? Darimana perubahan demi perubahan, perbaikan demi perbaikan, harus dimulai? Dengan kekuatan apa kita berubah dan memperbaiki diri? Apa iya bisa memperkuat bangsa ini bukan hanya lokal, dalam negeri, tapi bener-bener bisa menjadi Global Player? WorldClass? Apa ga ketinggian tuh?

Dan sebagaimana disebut di bagian paling awal, di atas, apa hubungannya pula dengan MENIKAH...? Urusannya apa...? Kaitannya apa...? Koq judulnya tulisan ini: Menikahlah, maka engkau akan mapan...
Sekali lagi... Bismillaah...
Yuk... Kita mulai bicara, diskusi, dan sama-sama merenung...
Sebelum diskusi dan perenungan, dimulai... Izinkan saya mengucapkan terima kasih dan rasa hormat saya...
Rasa terima kasih saya, dan rasa hormat, buat mereka yang masih cinta, mikirin, dan berbuat sesuatu untuk negara dan rakyatnya, sesama warga negara Indonesia.
Rasa terima kasih saya, dan rasa hormat, buat mereka yang masih mau menegakkan kehormatan dan kemuliaan negara dan bangsanya sendiri.
Rasa terima kasih saya, dan rasa hormat buat mereka yang mau menjaga kedaulatan negara dan rakyatnya sendiri. Memajukan negerinya, dan berupaya semaksimal mungkin menjadi negara yang tegak di dalam dan di luar negeri.

Rasa terima kasih saya, dan rasa hormat, buat mereka yang tidak menggadaikan peluang, informasi, bahkan ketika itu menjelma menjadi satu barang dan kekayaan yang nyata, kepada asing. Terus mikirin gimana nasib        anak cucunya kelak.

Rasa terima kasih saya, dan rasa hormat, buat mereka yang mau menjaga negaranya, dan lebih memilih kerjasama dengan sesamanya, daripada kemudian bekerja sama penuh dengan asing.
Rasa terima kasih saya, dan rasa hormat, buat mereka yang mau memperbaiki dirinya, dan berubah, yang kemudian dari sini kemudian bisa selamat dari kehancuran total, kebinasaan total, kepunahan total.

Rasa terima kasih saya, dan rasa hormat, kepada sesiapa yang ikut bergandengan tangan membuat masyarakat bersatu, berjamaah, termasuk di urusan ekonomi, hingga bahkan menjadi kekuatan ekonomi dunia.
Rasa hormat saya juga, plus terima kasih, plus doa, untuk semua niatan baik pemerintah dan semua unsur masyarakat, dalam usahanya berubah ke arah yang lebih baik, dan memperbaiki diri untuk menjadi yang lebih baik lagi. Semoga berhasil dan Allah ridho.
Terima kasih pula buat mereka yang masih menjaga ibadahnya, masih memanjatkan doa-doa, buat dirinya, keluarganya, negaranya. Sehingga Allah pun masih menjaga negeri ini.
Terima kasih buat mereka yang masih memelihara imannya dan ketaqwaannya, dalam keadaan dia muslim muslimah, sehingga masih banyak Karunia dan Rahmat Allah buat Indonesia.

Terima kasih buat mereka yang tidak suka menyakiti, tidak suka berbuat onar, tidak suka berbuat dosa dan maksiat, hingga Allah masih menyelamatkan negeri ini dari kehancuran besar yang lebih besar lagi.

Terima kasih buat mereka yang menjaga kedamaian, ketentraman, ketenangan, di negeri ini, memelihara persaudaraan, memilih kepentingan orang banyak, ketimbang memakan peluang yang membahayakan orang banyak, hingga kemudian Allah masih menjaga dan memberi tambahan keberkahan buat negeri ini.

Tulisan kecil ini, adalah wujud dari sedikit perbuatan yang saya bisa, u/ menyelamatkan sisa, yang masih ada...

Dan puji syukur, alhamdulillaah nya, Indonesia masih terlalu luas, dan kaya... Besar... Masih banyak yang masih bisa diselamatkan, u/ kita, u/ semua, dan u/ anak cucu kita di masa yang akan datang....

Dalam pada itu, kita tetap tidak boleh gegabah. Lembaga keuangan perbankan dan nonbank, janganlah juga dipinggirkan. Diajak kerjasama saja. Terhadap perusahaan-perusahaan asing juga ga boleh gerasa gerusu, ga boleh ceroboh dan sembarangan. 

Apalagi sampe anarkis, muncul kebencian. Ga cantik. Bisnis, selesaikan lagi dengan cara-cara bisnis. Insya Allah asal niatnya bener, ga ada yang ga bisa diajak mufakat. Negosiasi akan selalu dimungkinkan. Misalnya, judulnya bukan diusir. Tapi dibeli. Ya, dibeli ulang. Maka ini bukan menjadi sesuatu yang mustahil. Kita toh menguntungkan mereka. Ga maen usir aja. Yang sudah terjadi, terjadilah. Mau diapain lagi. udah lewat juga. Songsong aja masa depan yang lebih baik. He he he, kayak jargon politik ya? Engga lah. semua harus tulus ketika masuk di wilayah ini. Semoga Allah jaga niat kita semua. Serta memberikan bimbingan-Nya.

Kepada kawan-kawan semua, saya bilang dengan jujur, bahwa saya tidak mengerti dunia investasi, bisnis, ekonomi, dan perdagangan. Jangankan investasi dan perdagangan global, lokal saja saya tidak paham. Saya lagi belajar dengan tertatih-tatih. Tapi dalam ketertatihan ini saya makin menangis, makin menjerit. Makin kepengen teriak, dan kepengen mulai berbuat sesuatu u/ negara dan sahabat-sahabat, yakni sesama rakyat Indonesia yang saya cintai karena Allah. Dan saya mengajak sebanyak-banyaknya kawan untuk berpikir, bertindak di frekuensi yang sama ini. Insya Allah dimudahkan Allah.

Terima kasih juga buat semua yang sudah mau membaca dan mendengarkan celotehannya Yusuf Mansur. Lebih terima kasih lagi bila kemudian kawan-kawan mau ikut sumbang saran, sumbang suara, sumbang ide, dan kemudian ikut serta di dalam memikirkan dan pergerakan. Sehingga hal ini menjadi sebuat pemikiran dan gerakan yang masif, cepat, sambil tetap kalem, sabar, dan terukur.

Agustus, 2013
Syawal, 1434

Salam hormat,

Yusuf Mansur

MUKADIMAH KLIK DISINI






Indonesia Berjamaah untuk Beli Ulang Indonesia Part 5


Sebenernya, konsep ini sudah saya tulis di buku-buku saya yang sudah beredar duluan. Istilahnya; Redistribusi Asset. Didistribusikannya ke dalam. Ke internal. Pasti bisa. Untuk skala Indonesia, kesempatan itu dishare ke masyarakatnya sendiri. Masyarakat jadi pemilik. Demikian.

Sekali lagi, saya mencoba menggerakkan, berhasil tuh. Tinggal finishing saja, soal izin, konsep, manajemen, administrasi.

Ketika satu sekolah swasta, pesantren, akan memperluas lahannya, menambah kapasitas murid atau santrinya, maka kemudian yang harus dilakukan, coba dah ga usah kemana-mana. Cari “investor” ke dalam saja. Bukan hanya investor sedekah, tapi juga benar-benar investor modal. Kan ada murid dan wali muridnya. Kan ada santri dan wali santrinya. Semua bisa dihitungin. Semua bisa dikalkulasi. Pasti bisa. Insya Allah bisa.

Ketika saya dan kawan-kawan PPPA silaturahim ke Hongkong, saya melihat POTENSI yang dahsyat sekali. Ditambah dengan KOREA, TAIWAN, yang 3 negara itu relatif bagus gajinya/salarynya/hasilnya. Jumlah tenaga kerja juga buanyak sekali. Kayak di Hongkong, ada kali sekitar 130rb tenaga kerja. Subhaanallaah. Korea dan Taiwan, relatif sama. Dengan tingkat kemakmuran tenaga kerja yang juga sama. Hanya sayang, saya melihat, konsumsi lagi aja yang ditinggikan. Ga dipakai untuk memberdayakan dirinya sendiri.

130rb nakerwan di Hongkong, jumlahnya dikali tiga, bila termasuk Korea dan Taiwan. Subhaanallaah.

Yah tapi saya mah pengen jadi orang yang bertipe ga kepengen cuma kalkulasi doangan, ngitung-ngitung doangan. Engga banget. Saya bergerak aja. Dan ada koq kawan-kawan Hongkong, Korea, Taiwan, yang ikutan di PU edisi yang diperhatikan OJK dan media, he he he. Artinya, mereka kalo tahu, kalo ngerti, nya pasti bisa. Dan TKI atau TKW ini, kaya banget loh.

Coba aja hitung...
Gaji per Nakerwan di Hongkong... 4 juta. Dikali 130rb jumlah Nakerwan, jumlahnya WOW banget. 520 milyar loh, sebulan. Atau 6,2T.

Potensi ini dilihat loh, oleh kalangan perbankan, perusahaan transfer duit, resto, bahkan “penipu-penipu”, he he he. Mereka berdatangan ke Hongkong. Ada potensi dana TKW/Nakerwan/TKI. Dan jangan lupa, dikali 3 loh, he he he.

Kalo saya melihat dari sisi apa yang saya paparkan, gimana?
Kalau gerakan ini dibuat masif, lalu seperti PU diperbesar luasannya, subhaanallaah banget dah.

Apalagi kalo kemudian sistem yang sudah saya paparkan dijalankan di sana. Perbankan, bukan hanya pengen duitnya kawan-kawan di Hongkong saja, untuk disalurkan ke pengusaha-pengusaha di Indonesia. Yang nantinya pengusaha-pengusaha tambah kaya, ya tenaga kerja di sana, begitu aja. Pulang ke Indonesia, kembali lagi begitu begitu aja. Akhirnya, pilihannya balik lagi, balik lagi, balik lagi. Perpanjang kontrak terus di sana, he he he. Sedih.

Padahal sederhana. Kalau Nakerwan itu berpotensi dapat gaji setahun sebesar 6,2T, pinjemin aja modal usaha. Toh mereka punya gaji, bisa dipotong dari gaji mereka, atau mereka bisa ngangsur dari gaji mereka. Katakanlah, 20% nya, atau setara dengan 1,2T, maka mereka bisa tuh jadi INVESTOR Properti besar di Jakarta. Jumlah segitu jugalah yang dikucurkan pasar modal, perbankan, lembaga-lembaga keuangan, bagi properti-properti di Jakarta. Bedanya, ini investornya, para Nakerwan. Kan keren banget tuh...

Seperti yang saya bilang, setiap pelunasan, maka kepercayaan akan berlipat-lipat. Bukan tidak mungkin, kumpulan Nakerwan itu bakal punya potensi dana, sebesar yang dibutuhkan oleh semua kebutuhan properti di Indonesia.

Itu belum dihitung dari Korea dan Taiwan. Dan belum dihitung pula mereka-mereka Tenaga Kerja Indonesia yang menempati posisi menengah seperti di Singapore, Malaysia, UEA, Eropa, Inggris, Amerika, Kanada, Australia. Semuanya bergerak untuk Indonesia yang untuk Indonesia. Subhaanallaah dah.

Apalagi perlu diketahui, jika kita udah punya modal sekian, maka sesungguhnya itu dihitungnya sudah 3 sampe 5x lipat nilainya. Jika karyawan dari 2 perusahaan 2 kawan saya bisa ngumpulin dana 40M, itu sama dengan sudah punya 120M.

 Dan saya sudah membuktikannya di urusan hotel haji umrah. Apalagi kalo sampe 1,2T dikali 3 negara destinasi Tenaga Kerja, sebesar 3,6T. Wuih... Bisa punya 15T dah tuh hitungannya. Subhaanallaah maasyaaAllah.

Dan kalo menilik bahwa perbankan pada nyerbu ke sana, pada jalan ke sana, pada berangkat ke sana, maka sesungguhnya ini bener-bener suatu keniscayaan. Tenaga kerja tersebut, akan memiliki kesempatan maju yang sama dengan siapapun. Tidak berhenti nasibnya sampe di sana, yang sementara itu, banyak orang nasibnya berubah sebab mampu mengumpulkan dan memaksimalkan potensi mereka.

Sampe sini, saya mengundang semua ahli untuk ikut bicara... Sampe ahli koperasi yang saya lihat, teramat mendekati, dan cocok untuk pola pikir dan pola bertindak yang saya paparkan.

Sementara saya, akan berbicara dari sisi yang saya mengerti, dan bertindak juga dari sisi yang saya mengerti. Kelak insya Allah akan menjadi satu pola pikir dan pola bertindak yang komprehensif. Asal semuanya disiplin pada niat untuk maju bersama.

***
KLIK DISINI PART 6

Indonesia Berjamaah untuk Beli Ulang Indonesia Part 4


Setelah baca penjelasan saya sedikit, gimana tuh? Mampu ga Indonesia membiayai seluruh potensi ekonomi yang ada di depan matanya?

Bisa, iya kan? Kenapa ga bisa? Sebab dengan pemaparan sederhana di atas, selama ini ya kita jadi tahu, bahwa “Sudah koq. Sudah dibiayai oleh masyarakat. Dari dana tabungannya, dari dana pensiunnya, dari dana asuransinya, dari dana pajaknya, dari dana zakat dan sedekahnya.” Yang kita minta, hanya, tolong libatkan mereka. Angkat derajatnya. Jangan ditinggal, jangan dipinggirkan.

Pemikiran ini bener-bener kelihatannya sepele koq. Ga ribet. Dan asli sepele. Ringan. Simpel. Melibatkan internal dirinya sendiri. Tadi udah belajar tuh. Ga pake dana luar saja, ga pake dana asing, hanya potensi kredit yang sangat mungkin didapat sama karyawannya kawan tadi, sudah bisa dapat dana setengah T. Dahsyat kan? Dan kita sama-sama tahu, jika kreditnya lancar, maka akan ditambah dan ditambah. Maka bisa berapa tuh kapitalisasinya? Bisa 1T, 2T, 3T, 4T, dan seterusnya. Dan itu ga kemana dan ga buat siapa-siapa. Ke dalam sendiri.

Gagasan ini tinggal diperlebar saja. Ke perusahaan-perusahaan lain.
Saya coba deh bantu.

Mall misalnya. Karyawannya baik tetap maupun outsource, dan karyawan para tenant, kayak karyawannya resto-resto, dan toko-toko di Mall tersebut, bisa mencapai 4rb karyawan. Nah, mungkin ga mereka jadi pemilik Mall? Ikut memiliki lah? Mungkin kan? Jangan bilang ga mungkin.

1 SMU negeri aja, 1 SMP negeri, 1 SD negeri, bisa 500-an koq muridnya. Jumlahnya? Berapa tuh? Ribuan kan? Ga usah dikaliin jutaan. Kan mereka pelajar. Kaliin jumlah puluhan ribu aja atau maksimal 100rb. Udah GILA bener tuh jumlahnya.

Jika pelajar satu sekolah, dan itu pun hanya kelas 3 SMU nya saja, 3 SMP saja, 6 SD nya saja, bahkan TK, jelang perpisahan, bisa patungan sewa ber-bus-bus, +booking tempat rekreasi dan memberi manfaat ekonomi bagi katering, warung, jajan, oleh-oleh... Nah, apalagi kalau yang patungan, berjamaah, bukan hanya kelas 3 nya saja, bukan hanya kelas 6 nya saja, bukan hanya TK akhirnya aja. Tapi semua level, level kelas, dan bukan di akhir. Tapi sejak dari awal. Apa yang terjadi? Mereka bisa bahkan BELI perusahaan bus! Bukan hanya bisa beli 1 bus. Beli 1 perusahaan bus, he he he.

Ga percaya? Dicoba saja.
Bikin aja coba Koperasi Pelajar. Targetnya: Belajar, dan mengukur potensi pelajar Indonesia yang juga ga keruan banyaknya. Pokoknya, wes, negeri ini negeri super besar. Berkah dah. Kawan saya dari Malaysia sampe bilang begini, “Bodoh benar jika ada yang ga bisa usaha di Indonesia. Orangnya banyak...”, katanya, sambil terkekeh-kekeh. Dia ini jualan kosmetiknya, sampe ke Indonesia. Bahkan jualan baju. 

Aneh kan? Ga aneh juga. Ini juga soal pendidikan. Makanya, coba dibuat untuk sarana pembelajaran juga, Koperasi Pelajar. Anggotanya semua anak-anak TK, semua anak-anak SD, semua anak-anak SMP, SMU, sampe adik-adik dan kawan-kawan mahasiswa. Wuih, bakal jadi raksasa juga ini koperasi. Sekali lagi, sebab jumlah. Hal in harus disyukuri dengan benar-benar dikembangkan dan dikelola dengan baik.

Saya gerakin, praktis, lewat twitter saja, dengan izin Allah sudah bisa ngakuisisi hotel di bandara loh. Ini baru “berdehem” doang, he he he. Belum bener-bener gerak. Dan udah bikin semua heboh, he he he. Tapi saya jadi tersenyum, bahwa segala oretan ini bukan candaan. Ini sebuah keniscayaan.

***



salah satu alasan kenapa  harus BELI ULANG  Indonesia dengan#IndonesiaBerjamaah

Monday, August 12, 2013

Indonesia Berjamaah untuk Beli Ulang Indonesia Part 3

Kembali sedikit ke pengusaha sawit tadi. Ga apa ga meninggalkan perbankan. Ga apa ga  meninggalkan pengusahanya. 

Libatkan saja semuanya. Pengusahanya menjadi pengelolanya. Masyarakat pemilik lahan sawit, menjadi mitranya, sekaligus pekerjanya, sekaligus sebagai investornya. 
Perbankan, dan bupati, memediasi semua ini supaya kemudian berjalan. Keren dah. Ntar pemerintah dapat pajaknya, dan orang-orang seperti Yusuf Mansur, he he he, Baznas, dan lembaga-lembaga amil zakat infak dan sedekah, gerakan-gerakan sedekah, dapat zakat dan sedekahnya, untuk kemudian menggerakkan lagi ekonomi masyarakat yang lebih besar, dan luas.

Kita coba lihat sejenak ke bisnis properti.
Pernah baca ya, berita bahwa 1 bank memberi kredit 600 milyar pengusaha properti/perusahaan properti? Atau berita 1 properti besar dikucurkan dana di atas 1T. Itu dana tetap aja ya dari masyarakat.

Apa yang terbaca?
Banyak positifnya. Di antaranya, adanya tenaga kerja baru. Adanya roda ekonomi yang lebih berputar. Dan masih banyak lagi. Termasuk, kocek pengusahanya, pundi perusahaannya, juga bertambah. Bertambah pula nanti pajak daerah dan negara. Bila dia muslim yang taat, akan bertambah zakat dan sedekahnya. Belum lagi pajak dari karyawan, supplier, dan lain-lain.

Tapi ada yang “bolong” sedikit. Apa tuh? Entahlah. Dari sisi saya, sebagai orang Betawi yang lahannya hilang banyak, ada 1-2 “kesalahan” sistem. Yakni, tidak memberikan ruang, porsi, kesempatan, lebih, kepada justru ke pemilik dana, yakni penabung, dan pemilik lahan, yang kelak akan dibayar-bayarin oleh pengusaha/perusahaan properti tersebut. Pemilik dana, dan pemilik lahan, ga punya akses lebih besar lagi ke, di, dan dari peluang yang ada. Pemilik dana, “hanya” diberi 2% saja oleh banknya.

Pemilik lahan apalagi, sebab ketidakberdayaan ilmu, keahlian, pengalaman, di bidang properti, maka mereka ga menikmati apa-apa dari penjualan lahannya. Dibelikan lahan yang lebih gede, sudah ga mungkin. 

Habis dibagi ahli waris, dengan aneka tingkah, perbuatan, dan tabiatnya. Menjadikan duit hasil jual beli lahannya, ga jadi apa-apa. 

Banyak pemilik lahan, akhirnya jadi pekerja kasar, budak, di lahannya sendiri. Rumahnya kian sempit, sesak, dan akhirnya secara ekonomi, kehidupan sosial, bahkan agama, akhirnya hancur tatanannya.

Bisa kah kemudian bersatu? Bisa. Asal semua punya kemauan. Termasuk kemauan belajar dari para pemilik lahan, kemauan mengajari juga, dan lain-lain, yang akan menjadi diskusi kita.
Di Industri perbankan, sama saja. Cari modalnya jangan ke asing. Jangan keluar dari banknya, maka akan selamat. Tawarin dong penabungnya.

Untuk meningkat menjadi investor, menjadi pemilik. Jangan malah opportuniti itu malah dikuasakan ke orang asing. Di industri dirgantara, pesawat terbang, begitu juga. Penumpang dinaikkan kedudukannya dari target market menjadi pelaku market. Naik menjadi investor. Diajak untuk memberdayakan duitnya sendiri untuk membangun industri pesawat terbang dengan industri yang mengikutinya.

Di industri transportasi darat, laut, juga demikian. Keren dah kalo begini.
Ketika membangun pasar, masyarakat diajak sebagai pemilik. Selain diajak sebagai tenan, pengelola, pemilik kios, ajak mereka sebagai investor.

Sesungguhnya investor punya tempat dan martabat yang tinggi sekali. Ajak mereka berinvestasi, yang jujur tentunya, transparan, profesional, amanah, bagus, penuh spirit. Toh mereka akan ke pasar. Akan belanja. Kenapa ga mereka yang menjadi pemilik saja? Harusnya bisa.

Entahlah siapa yang bisa mempersatukan ini semua, seperti kisah Patih Gajah Mada yang katanya pemersatu nusantara. Saya pribadi belum merasa bisa kapasitasnya. Kecuali ini semua dikerjakan bersama-sama. Masing-masing mulai berpikiran seperti ini di semua sektor masing-masing.

Ketika misalnya, satu pabrik mau memperluas pabriknya, pake aja ala berpikir yang sama. Kumpulin karyawannya, kasih pencerahan, hubungkan dengan perbankan, bertindak jadi avalisnya, penjaminnya, diaturkan mekanisme keuangan, dan jadilah karyawan lama menjadi investor baru pabriknya.

Ada loh, 1 pabrik, 1 perusahaan, yang jumlah karyawannya belasan ribu, bahkan sampe di atas 20rb. Saya mengenal koq 1-2 kawan juga, yang punya karyawan 24 ribu dan 26 ribu. Ini kan fantastis. Jika dunia perbankan diperkenalkan ulang ke mereka. Diperkenalkan ulang loh ya. Sebab sebelumnya udah saling mengenal. 

Dunia perbankan udah mengenal mereka, dan mereka udah dikenal dunia perbankan. Tapi bukan dari sisi investor, modal usaha, peluang naikin derajat dan harkat. Bukan. Melainkan untuk pengumpulan uang atau dana pihak penabung/deposan, dan maaf, untuk kredit konsumi. Jangan dong. Kalo bisa, dari sisi yang baru. Sisi investasi, ownership, kepemilikan, dengan bantuan perbankan.

Dari perusahaan kecil saja, punya 2 kawan saya yang sudah disebut di atas, udah gede banget. Apalagi ini 24 ribu atau 26 ribu. Ini kan 12 sampe 13x lipatnya. Berarti bisa mencapai berapa? Saya tuntasin hitungannya. 

Jika masing-masing karyawan bisa dapat kredit 20 juta saja, dan 20 jutanya ini diputer di pabrik atau di perusahaan kawan saya tadi, di perusahaan tempat karyawan-karyawan ini bekerja, subhaanallaah, maka dana yang didapat sudah mencapai 480 milyar untuk yang 24 ribu karyawan. Dan 520 milyar untuk yang 26 ribu karyawan.

Bayar angsurannya kredit karyawan yang jadi modal balik bagi perusahaan dari mana?
Ya diajarin juga dong karyawan-karyawan tentang pengelolaan keuangan. Diajarkan juga doa-doa, diajarkan hidup hemat, prihatin, minimal selama investasi sedang berjalan di perusahaan tersebut. Toh, secara kalo perusahaan belum memberikan hasil, nyatanya mereka bisa mengembalikan kredit 20 juta per orang dengan cara potong gaji. Apalagi kemudian bisa dapat – kelak – bagi hasil dari keuntungan itu perusaahan. 

Gede bener dah. Keangkat dah harkat dan derajat karyawannya sendiri. Ga seperti selama ini, yang hanya berstatus karyawan. Dapat kredit, untuk konsumsi. Yang begini ini harus ada kemauan dari semua pihak.

Dan saya serta banyak lagi kawan-kawan ga keberatan sama sekali untuk memberikan pelatihan, pengajaran, atau minimal motivasi. Majunya, maju bareng gitu loh. Ga seperti sebagian besar pengalaman sekarang ini. Duit orang kecil ngumpul, tapi dipake buat usaha orang-orang besar yang kadang ga inget sama orang kecil.

 Giliran orang kecil make, karena keterbatasan ilmu, makenya konsumsi. Disuruhnya untuk konsumsi terus. Bahkan diarahkan kesannya, dengan bertebarannya iklan-iklan konsumtif. Bahkan nih, kadang pemerintah, pake alat ukur pertumbuhan ekonomi, pake ukuran konsumsi. Pake ukuran belanja warganya. Ini kan palsu. Ga bener.

Sebaliknya, bila orang kecil pengen usaha, dengan minjam misalnya 1 s/d 5jt, ampuuuuuunnn susahnya. Prosedur. Maklum sih. Kan mereka juga harus safety. Bukan bagi-bagi duit. Mafhum dah. Namun tetap aja ada ketidakrelaan, kalau justru untuk pembiayaan yang sudah besar-besar, bener-bener diperlancar, tanpa kemudian kepemilikan dan kue usaha itu dibagi ke masyarakat kecil kesempatannya.

Dalam satu kesempatan tausiyah tentang ekonomi, keuangan, perbankan, investasi, saya yang sedikit sok tahu ini, ngajak kawan-kawan untuk tidak nganggep sepele duit kecil.
Gini, kadang kan sebagian orang bilang, “Ah, duit saya di bank mah ga seberapa. Palingan 100rb... 200rb... 500rb...” Mereka lupa, kadang jumlah orang yang duitnya segitu tuh bisa 1jt, 2jt, atau malah 10jt orang. 

Dan itu sudah tahu kan hitungannya? Berapa tuh? Bolehlah kemudian saya bilang, tidak sedikit potensi dan peluang ekonomi akhirnya bisa kegarap dari “duit tidur” seperti itu. Disebut duit tidur, sebab karena sedikit, barangkali ga diliat-liat juga sama pemilik dananya. “Toh, cuma sedikit...”, begitu katanya.
Sekarang biar clear, kita coba hitung saja. Bila ada lembaga keuangan bank dan nonbank, dengan jumlah total nasabah, katakanlah 10jt, dengan masing-masing “duit tidur” nya 100rb, maka itu sudah kita hitungkan di atas... Sebesar 1T.
Kalo 200rb...? 2T.
Kalo 500rb...? 5T.

Maka bila kemudian ada sebuah bank dan lembaga keuangan nonbank, membiayai bisnis properti misalnya, “cuma” 600rb, atau katakanlah ada yang sampe dibiayai 2,2T, maka sesungguhnya, itu masih bisa dicover sama duitnya orang-orang kecil. Maasyaa Allah kan?

Secara iseng, saya katakan juga, bahwa andai bayi-bayi perempuan, yang di telinganya ada antingnya, walo masing-masing setengah gram, dan pake cincin pula, plus anak-anak perempuan balitanya, dengan asumsi anting dan cincin, plus lagi mungkin gelang dan kalung, maka jika dilepaskan emas bayi dan balita perempuan, sudah pula akan bisa dipake dananya untuk mengakuisisi perusahaan menengah bahkan besar.

Apalagi nih, bila ditambah dengan seluruh ibu-ibu, he he he, pada copot emas semua... Wuah, ga kebayang dah berapa tuh dana yang bisa diputer.

Ini bukan cerita sedekah. Ini cerita investasi. Insya Allah kelak cincin, anting, kalung, gelang, yang dulu dilepas, bisa dibeli lagi dalam jumlah gram yang lebih besar.
Jangan lupa sejarah loh. Ini bukan bercanda. Emas-emasnya rakyat Aceh lah yang sudah membuat negeri ini atas izin Allah, dulu memiliki pesawat yang kelak menjadi cikal bakal Garuda Indonesia.

Artinya apa? Kemungkinan itu sangatlah ada, dan terbuka.
Belum lagi pengalaman Indonesia dulu mendirikan Bank Syariah pertama di Indonesia yang rasanya semua tahu namanya apa? Itu kan dari uang-uang yang relatif recehan. Dikumpulkan, dan kemudian berdirilah Bank tersebut. Sekarang, modalnya relatif jadi mayoritas milik asing.

***  
salah satu alasan kenapa  harus BELI ULANG  Indonesia dengan#IndonesiaBerjamaah